Kemenag Probolinggo

Wednesday, August 19, 2020

Nikahkan Catin penyandang disabilitas, Mufti Agus cukupkan bahasa Isyarat

 

Kab. Probolinggo (Inmas) Rabu, 19 Agustus 2020 - Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana termaktub dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Dan sebuah pernikahan baru akan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun-rukunnya; suami (zauj), istri (zaujah), wali, dua saksi dan sighat (ijab qabul). Dan menegnai ijab qabul ini dipersyaratkan agar dapat didengar oleh setiap yang hadir di acara tersebut. Namun bagaimana jika calon pengantinnya tuna wicara atau tuna rungu, maka sebenarnya fiqh itu solusi hakiki bagi kehidupan ini.

Dalam Kitab I’anatut Thalibib, Juz III halaman 277 diterangkan bahwa cukup bagi kita mengambil ibarah dan ketika orang bisu itu tidak punya isyarah yang memahamkan dan sulit mewalikan (dhorurot) maka isyarah orang bisu itu disamakan dengan tulisannya. Artinya jika yang bersangkutan betul-betul tidak dimungkinkan untuk berkata-kata karena tuna wicara dan sulit mendengarkan karena tuna rungu maka tulisan darinya bias dianggap cukup.


As-Sayyid Ahmad bin Umar As-Syatiri dalam kitabnya al-Yaqut an-Nafis menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas rungu, ketika dia melangsungkan akad nikah maka yang menjadi titik tekan bahasaya adalah kaitan dengan ijab kabul yang dilakukan olehnya, yang tentu tidak sama dengan non-disabilitas.

Hal senada dalam buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, menyatakan fiqih memberikan solusi sebagaimana dikatakan oleh tokoh ulama mazhab Syafi'i, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli.

Rabu, 19 Agustus 2020, Kepala KUA kecamatan Bantaran H. Mufti Agus Prihatin menikahkan sepasang pengantin penyandang disabilitas; tunawicara dan tunanetra, namun dengan penuh ketelatenan membimbing dan mencari cara sekiranya bias dipahaminya, akhirnya hanya bahasa isyarah yang digunakannya.

Selanutnya, kepada kedua mempelai dijelaskan bahwa diantara tujuan disyariatkannya perkawinan untuk mendapatkan keturunan yang sah bagi kelanjutan generasi. Yang endingnya mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (INPRES No 1 Tahun 1991), pernikahan merupakan miitsaaqan ghalizhan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Semoga ada hikmah besar di baliknya, dan melahirkan generasi muslim sejati dalam kehidupan, tutupnya. (Aan).

Share:

Arsip Blog